Sembilan Hari Mengarungi Biru Laut-Mu
Menjadi seorang ibu adalah impian setiap wanita yang telah menikah dan mempunyai keturunan merupakan salah satu tujuan dari melakukan pernikahan. Bersyukurlah bagi wanita yang cepat hamil dan bersabarlah bagi wanita yang telah menikah namun belum hamil, karena Allah mengetahui kapan kita dipercaya mengemban amanah tersebut.
Setelah penantian selama sepuluh bulan, Alhamdulillah Allah mempercayakan janin mungil tumbuh dan berkembang dalam perut saya. Senang, bahagia, dan terharu kami rasakan bahkan hampir tidak percaya dengan hasil tespack garis dua tebal yang menunjukkan bahwa saya telah hamil. Mengapa kami tidak percaya? Karena dua bulan sebelumnya saya telat empat hari tapi besoknya haid, sehingga kami periksakan lagi ke bidan dan hasilnya ternyata positif. Setelah yakin hamil, kami memberi kabar kepada seluruh keluarga, sayapun mulai menyiapkan kehamilan dengan membaca buku-buku tentang hal-hal yang berhubungan dengan kehamilan. Saya begitu takut, khawatir, dan hati-hati dalam segala aktivitas sehari-hari supaya janin tumbuh dengan sehat dan sempurna hingga proses kelahirannya nanti, maklum saja anak pertama. ^_^
Pada saat kehamilan pertama ini saya tidak mengalami “Morning Sick” seperti ibu hamil pada umumnya dan bisa dibilang “Hamil Kebo”, karena saya masih bisa melakukan aktivitas seperti biasanya yaitu mengajar dan melakukan pekerjaan rumah yang ringan-ringan. Selama hamil bawaannya lapar, dalam sehari saya bisa makan sampai lima kali dan jika tidak segera makan maka perut terasa melilit sekali, wow bisa dibayangkan kenaikan badan saya selama hamil adalah 20 kilogram.
Selama delapan bulan saya tidak pernah melakukan perjalanan jauh bahkan naik sepeda dan motorpun bisa dihitung jari, karena saya dan suami menjadi guru di pedalaman Papua Barat dimana perjalanan ke Kabupaten harus menyeberangi lautan terlebih dahulu. Khawatir terjadi apa-apa dengan perkembangan janin yang belum kuat, saya hanya stay at home saja sampai akhirnya kami melakukan perjalanan pulang kampung ke Jawa Timur.
Bahagia pastinya karena segera bertemu dengan sanak saudara dan keluarga di Jawa, tapi membayangkan jauhnya perjalanan serasa berat. Pagi itu bersama rombongan peserta MTQ yang menuju Rajaampat, saya dan suami meninggalkan Sebyar Rejosari dengan membawa harapan kebahagiaan akan hadirnya malaikat kecil penyempurna pernikahan kami. Kami menyeberangi lautan yang panas sekali cuacanya saat itu dengan menggunakan speed boat, namun sayangnya di tengah jalan mesinnya rusak sehingga kami harus singgah di Kampung yang bernama Taroi.
Di sana kami disambut dengan hangat oleh masyarakat dan kami istirahat sambil menikmati segarnya air kelapa muda yang baru dipetik dari pohon. Di Kampung ini mayoritas dihuni muslim asli Papua Barat dengan berbagai marga, ada juga pendatang dari Jawa dan Makassar tapi sedikit. Setelah tiga jam istirahat dan hari semakin sore, sepertinya speed boat sudah selesai diperbaiki sehingga kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Ternyata kendala lain menghampiri, lautan kandas sejauh 1-2 km dimana kami harus berjalan diatas tanah berlumpur menuju tengah laut. Saya tidak bisa membayangkan harus berjalan sejauh itu dengan kondisi kehamilan 8 bulan ini, namun genggaman erat suami mampu menyalurkan semangat untuk melangkahkan kaki melawan angin dan arus air berlumpur (Suami Siaga) menuju laut, belum cukup sampai di situ para laki-laki harus mendorong speed boat ketengah laut supaya bisa jalan, wow bisa dibayangkan sendiri deh.
Mendorong Speed Boat yang Mogok di Tengah Laut |
Setelah dua hari istirahat di sebuah penginapan dan menikmati kuliner ala Jawa Timuran (Lalapan), kami melanjutkan perjalanan menuju Sorong-Papua Barat. Kami berangkat pukul 09.10 WIT menggunakan kapal Fajar Mulia, perjalanan ini ditempuh ± 24 jam tergantung cuaca dan kondisi lautan. Sebenarnya bisa ditempuh melalui pesawat tapi demi keamanan dan kenyamanan saya yang tengah hamil 8 bulan, maka kami menggunakan kapal sebagai transportasi menuju Sorong dan Jawa. Oh iya, perjalanan ke Jawa bisa melalui Sorong atau Manukwari dan bisa melalui jalur laut atau udara tergantung pilihan kita. Perjalanan kami menuju Sorong awalnya berjalan mulus, namun ketika malam hari gelombang semakin tinggi dan sayapun mabok, mual, muntah sampai lemas.
Kabar mengejutkan saya terima dari teman yang sedang melakukan perjalanan dari Sorong menuju Bintuni, jadi kami berlawanan arah. Kata mereka di Sorong terjadi kerusuhan yang bermotif SARA, kami semua sempat khawatir apakah kondisinya sudah aman atau belum namun Allah masih melindungi kami semua. Kondisi aman meskipun jalanan sepi dan warung-warung masih belum berani buka alhasil suami harus berjalan kiloan meter untuk mencari makan karena saya lapar sekali.
Kami istirahat di Sorong selama empat hari dan harus menginap di Motel. Hal spesial yang saya alami ketika di Sorong adalah: 1) Suami memberikan fasilitas terbaik untuk saya dan janin dengan sebuah kamar penginapan yang nyaman. 2) pertama kalinya saya melakukan USG (Ultrasonographi) untuk melihat kondisi janin dalam kandungan dan Alhamdulillah sehat. 3) merasakan kuliner di sepanjang Tembok Berlin Sorong yang merupakan pusat kuliner, pemandangan malam hari begitu menakjubkan dan ramai karena kita bisa menikmati lautan dari balik tembok kuning tersebut. 4) pertama kalinya menikmati Ice Cream, bakso, dan nasi padang setelah hampir setahun tidak merasakan dan benar-benar ngidam (ketahuan tinggal di pedalaman nih). Untuk harga pasti semua tahu betapa mahalnya segala sesuatu di Indonesia bagian Timur.
Hari Sabtu, 26 April 2014 perjalanan panjang akan segera kami lakukan menuju Jawa. Pagi buta kami sudah menuju kapal Labobar karena takut tertinggal dan pukul 06.00 WIT sirine kapal dibunyikan pertanda kami akan meninggalkan Sorong menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Perjalanan selama tiga hari tiga malam dengan rute Sorong-Makassar-Surabaya. Perjalanan paling menyenangkan diantara sebelumnya adalah ketika menaiki kapal besar Labobar, karena selain kami berada diruang kelas A dengan fasilitas bagaikan hotel, kami juga bisa menikmati keindahan sunrise dan sunset setiap hari di deck paling atas sambil minum kopi hangat dalam ruangan terbuka, bisa menikmati luasnya lautan yang membuat kita tak henti memujaNYA, sepanjang jalan diiringi lumba-lumba dan ikan terbang. Sesekali kami berpapasan dengan kapal penumpang atau kapal barang yang menuju ke Papua.
Setelah dua hari berada di tengah laut, pada hari Ahad pagi kami bersandar di Pelabuhan Makassar selama 6 jam. Kami izin ke bagian informasi terlebih dahulu untuk menikmati Makassar, saya super hati-hati ketika menaiki dan menuruni tangga besi miring berukuran ± 5m. Kami tidak menyia-yiakan kesempatan emas ini dan memanfaatkannya untuk membeli oleh-oleh khas “syirup markisa” serta jalan-jalan keliling Kota menggunakan becak (asyik) sambil berselfie ria. Kami melewati gedung tinggi, perkantoran, melawati benteng Fort Rotterdam (Benteng Ujung Pandang), dan berlabuh di “Pantai Losari” nan indah dan amat terkenal di Negeri ini, tak lupa mendokumentasikan moment berharga tersebut.
Sungguh pengalaman yang tak terlupakan di masa kehamilanku yang memasuki trimester tiga ini. Perjalanan panjang pulang kampung yang menegangkan namun asyik, karena bertiga dengan suami dan anak yang sedang saya kandung. Alhamdulillah akhirnya senin siang, kami sampai di pelabuhan Tanjung Perak dengan selamat disambut sanak saudara yang lama saya rindukan.” Setiap pertemuan pasti ada perpisahan dan akan kembali bertemu dalam kerinduan”.
Berdasarkan pengalaman tersebut saya hanya ingin menunjukkan bahwa segala proses yang kita lalui dengan kesabaran dan keikhlasan pasti akan berbuah manis pada akhirnya. 15 bulan pengalaman yang berkesan berada di Indonesia bagian Timur Provinsi Papua Barat dan semoga apa yang kami lakukan bermanfaat bagi anak-anak di sana. Selanjutnya kami akan mencoba menjadi pendidik yang bermanfaat di Indonesia bagian tengah, insyaAllah.
Mojokerto, 29 April 2014
My experience will never forget forever
Tidak ada komentar:
Posting Komentar