credit |
Siang itu cuaca panas sekali, namun aktivitas rutin tetap berjalan seperti biasa. saat aku sedang berjalan pulang dari tempat mengajar. nampak dua bocah dengan langkah mantab membawa dua kantong keresek besar, entah apa isinya. kemudian akupun memanggil mereka.
"Otto...Stein.. Kalian sedang apa kah?" tanyaku menggunakan logat Timur.
"Ah, Kitong lagi kumpul kaleng kosong Bu Guru." jawab mereka bersamaan, tampak senyum manis menutupi rasa lelah dan keringat mereka.
"Panas begini, Mengapa tidak sore hari, tidak capek kah?" tanyaku penasaran. Bisa dibayangakan di bawah terik matahari siang, dimana matahari tepat di atas ubun-ubun, mereka berkeliling memungut kaleng yang dibuang di sekitar rumah panggung. Padahal sebagian besar teman-temannya sedang bermain bola atau tidur di rumah.
“Nanggung Bu Guru, sebentar penuh dan harus dipilih serta dipipihkan supaya timbangan berat dan harga mahal.” Otto menjelaskan dengan lancar.
“Wah keren, nanti dijual kembali ke Agen pemulung ya? Kalau Bu Guru boleh memberikan saran, Bagaimana Jika kaleng bekas itu diolah kembali sendiri kemudian dijual?” saranku.
“Seingat Bu Guru, kalian mendapat materi tentang cara mengolah sampah supaya tidak menimbulkan polusi pada Mata Pelajaran Sain kan? Nanti Bu Guru bantu tapi ada syaratnya ya!”
Mereka berdua tampak saling berpandangan untuk memikirkan kembali rencanaku. “Apa syaratnya Bu?”
“Pertama, kalian beli Es Pisang Hijau dulu ya karena Bu Guru tahu kalian haus. Kedua, kalian beli cat dan kuas ya, kita akan membuat kotak pensil dan vas bunga dari kaleng bekas tersebut, kemudian kita jual kembali, dan dapat uang kan? Bagaimana menurut kalian?”
“Hmmm, setuju Bu Guru! Teriak kedua bocah penuh semangat.”
Wajah mereka berbinar karena sensasi segarnya es pisang hijau ditambah bayangan mereka akan menghasilkan uang sendiri melalui sebuah karya. Mereka memang dari keluarga sederhana, namun yang terpenting adalah harga diri tetap terjaga jangan sampai meminta-minta kepada orang lain, itu yang diajarkan kedua orangtua mereka.
“Oke anak-anak, alat dan bahan telah siap. Buka terlebih dahulu bagian tutup kaleng. Kalian suka menggambar kan? Sebelumnya cat dulu bagian dasar kaleng dengan warna polos, kemudian gambarlah ciri khas Papua yang kalian ketahui, terakhir dijemur hingga kering.”
“Wah, ternyata menyenangkan Bu Guru cara membuatnya. Terimaksih atas bantuannya, kami senang sekali dapat gratisan, Eh. Pertama, gratis mendapatkan bahan. Kedua, dapat es gratisan. Ketiga, gratis berkarya dan berekspresi.” Stein berdeklamasi dengan gaya humornya.
“Benarkah? Boleh Ibu Tanya apa tujuan kalian mencari kaleng bekas ini selain mendapatkan uang untuk keperluan sekolah?” selidikku samba mengetes wawasan mereka.
Otto menjawab, “ Baru-baru ini banyak terjadi encana alam seperti banjir Bu dan salah satu penyebabnya adalah sampah yang menumpuk. Ketika saya dan Stein berkeliling komplek trans banyak ditemukan sampah-sampah anorganik yang tidak bisa diuraikan seperti plastik dan kaleng ini Bu.”
“Jadi, intinya kami ingin menyelamatkan bumi dari banjir Bu Guru apalagi Kampung Aranday ini seperti daratan di atas air yang bisa kapan saja terendam.” Stein menambahkan.
“Hebat murid Bu Guru ya, berarti kita ibarat menyelam minum air ya. Sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Sambil belajar juga bisa berkarya.” Senyumku bangga.
Keesokan harinya, mereka berdua membawa hasil kreasi kotak pensil di Koperasi Sekolah dan Vas Bunga di Kios-Kios. Para murid banyak berkerumun tertarik dengan hasil karya Stein dan Otto tersebut. “Bagus ya, buatan kalian, ada gambar Honai dan pakaian adat Papua!” seru beberapa anak perempuan. “Aku mau beli!” tambah beberapa teman yang lain.
Dalam sekejab saja dagangan laris manis dan merekapun sumringah dengan apa yang didapatkan. Mereka segera berlari untuk menemuiku di kantor. “Bu Guru, ada waktu sebentar kah? Ini ada kenang-kenangan dari kami.”
Aku membuka bungkusan sederhana dari kardus bekas, di dalamnya terdapat miniatur perahu jolor berwarna ungu dan putih sebagai hiasan di rumah. “Kerja Bagus! Terimakasih Duo Bocah Kaleng. Nanti ketika liburan, kita bisa membuatnya lagi dengan pola yang lebih indah dan siap menyelamatkan bumi!.” Jawabku terharu.
Ternyata mereka menyempatkan membuat hiasan itu di rumahnya, karena mereka adalah saudara sepupu.
Lonceng berbunyi,tanda istirahat telah usai, Mereka berdua akhirnya kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar