Pengabdian di Aranday-Papua Barat |
“ Ketika mimpimu
yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah”. Sebaris
lagu yang dipopulerkan oleh Bondan sangat pas dengan apa yang aku rasakan saat
ini. Banyak impian-impian yang telah tersusun dalam fikiran, namun tidak semua
bisa terwujud atau bahkan belum satupun yang nampak nyata dalam kehidupan kita.
Ketidakterwujudan
impian bukanlah hal yang wajib diratapi sekian lama, ya sudahlah seperti itu
hasilnya karena manusia hanya bisa merencanakan tapi kuasa Allah yang berhak menentukan bagaimana dan seperti apa akhir
perjalanan hidup hamba-Nya.
Bukan patah semangat tapi Allah telah melihat sampai mana ketabahan ikhtiar
kita sampai kita bisa tersenyum untuk mewujudkan impian tersebut. Keberhasilan
datang berdasarkan usaha yang telah dilakukan, yakin selalu bahwa setelah kesulitan
pasti akan datang kemudahan.
Roda kehidupan
selalu berputar dalam sirkulasi bumi ini yang pasti dialami oleh setiap makhluk
bernyawa. Hidup akan terasa flat tanpa
ujian dan hambatan, tidak variatif, bahkan tidak membekas dalam hati. Roda kesuksesan dan
kegagalan saling beriringan memberikan warna pelangi masa depan kita, tak
terkecuali aku.
Impianku lima
tahun lalu yang hampir semua tercapai saat kuliah, kesuksesan yang mengiringi,
kemudahan mengikuti. Cita-citaku sampai saat ini yang belum tercapai adalah
melanjutkan pendidikan selanjutnya di Negeri orang dan mengajar di sekolah yang
high class dan elit, keliling dunia,
dan memuliakan orangtuaku di masa tuanya. Sebaliknya saat ini Allah
mempercayakan aku untuk mengabdikan ilmu
di kawasan pedalaman yang jauh dan tidak pernah tersentuh media sekalipun,
mungkin roda hidupku saat ini sedang berada di bawah.
Sebelumnya aku
menjadi pendidik di sekolah swasta elit yang terletak di tengah-tengah Kota, fasilitas lengkap, gaji
lumayan, murid yang rapi-rapi dengan mengendarai mobil, transportasi dan
komunikasi lancar, listrik 24 jam, air bersih sampai terbuang-buang, aneka
makanan minuman tercecer, bahkan tempat-tempat hang out tidak terkira, tempat wisata mempesona, begitu sempurna
rasanya tanpa ada celah. Namun dimanapun kita bekerja selalu ada tantangan
untuk memberikan warna warni semangat dalam bekerja.
Tantangan
mengajar di Kota lebih kepada para siswa yang justru mayoritas pintar-pintar
sehingga sedikit menyepelehkan ilmu yang disampaikan guru, selain itu teknologi
canggih sangat mempengaruhi interinsik dan eksterinsik karekter siswa zaman
sekarang, sehingga guru juga dituntut untuk
mengikuti selera murid agar tidak dijuluki guru “GAPTEK” (Gagap Teknologi). Ghazwul Fikri semakin jelas harus
dilakukan karena pengaruh fun, food,
fashion terlalu mudah diakses tanpa bisa dihhindari. Perlu benteng Agama
dan pengawasan intensif dari lingkungan terutama keluarga.
“Kemanapun suami
bertugas, istri selalu mendampingi”. Kalimat tersebut mengingatkanku pada film
“Habibie Ainun” yang begitu sempurna dalam berumahtangga, istri siap
meninggalkan negerinya, mengorbankan gelar dokternya untuk melayani suami dan
anak-anaknya, cinta mereka begitu besar hingga kedua hati mereka telah melebur
jadi satu. Kita semua pasti juga seperti itu dan memang wajib tak terkecuali
aku, akhirnya mengikuti suamiku yang bertugas di pulau paling Timur Indonesia
yaitu Papua Barat.
Inilah saatnya
aku mengemban tugas pengabdian yang sebenarnya, semua telah terfikirkan dengan
matang walau masih ada setitik keraguan untuk merantau ke Papua. Aku dan
suamiku terpilih menjadi guru kontrak di salah satu Sekolah Dasar Inpres
Pedalaman Aranday-Papua Barat.
Segala keraguan
akhirnya kikis oleh ucapan seorang sahabat yang sekaligus alumni Psikologi: “hidup ini adalah pilihan “ dan setiap
pilihan mempunyai resiko masing-masing, jika kamu siap dengan segala resikonya
maka hilangkan keraguan. Bukankah Rosulullah pernah bersabda “Ketika kamu dalam keragu-raguan, maka
tinggalkanlah”.
Menjadi guru di
daerah pedalaman sangatlah bertolak 180 derajat dari sebelumnya. Sekolah disini
berdiri diatas air alias rumah panggung yang terkadang banjir akibat terkena
air pasang, listrik hanya enam jam, buku paket minim, lingkungan yang tidak higienis, murid-murid ada yang harus
menggunakan perahu untuk bersekolah atau melewati hutan, fasilitas kurang,
transportasi ke Kota harus menyebrangi lautan hampir tujuh jam menggunakan longboat atau jolor.
Ada kekurangan
pasti ada kelebihan, kelebihannya adalah seluruh pendidikan disini gratis alias
bebas tanpa membayar sepeserpun. Murid-murid disini juga bervariasi, ada yang
berasal dari pendatang Jawa, Makassar, Toraja, Medan hingga penduduk asli
beragama Islam.
Tantangan paling
berat adalah bagaimana mengajarkan “Calistung”
kepada murid yang memang membutuhkan, sulitnya memprediksi apakah siswa
tergolang Berkebutuhan Khusus atau tidak. Kurangnya media dan fasilitas yang
bisa mendongkrak semangat belajar mereka. Mereka lebih suka bekerja fisik
daripada harus berfikir mencari ilmu, yang penting “sa pu perut kenyang ee”.
Perlu waktu untuk merubah mindset mereka
menjadi motivasi demi masa depan.
Awalnya terasa
berat, namun seperti kata pepatah “witing
tresno jalaran soko kulino” dan “Tak kenal maka tak sayang” ternyata benar-
benar terjadi. Kulupakan segala keluh kesahku berganti semangat untuk melakukan
perubahan karena Mengasah besi menjadi
pedang lebih membanggakan daripada Mengasah
pedang yang sudah mengkilat. Ternyata dalam lautan garam yang asin
tersimpan berlian-berlian yang mempesona. Banyak juga murid asli Papua yang
memiliki potensi di bidang seni, olah raga, maupun Ilmu Pengetahuan.
Siswaku yang
menderita penyakit kekurangan pigmen (Albino), meskipun kesulitan menerima
materi karena matanya silau ketika siang hari, dia bisa menunjukkan bakat
melukisnya yang memukau. Ada lagi siswaku yang menderita kusta kering, dia
berhasil menunjukkan bakat dalam cerdas cermat tingkat Kabupaten. Kekurangan
bukanlah penghambat kretifitas, namun kreatifitas
itu sering muncul dalam keterbatasan seseorang.
Akhirnya aku
menyadari dan mulai beradaptasi dengan hidupku saat ini. Allah pasti memiliki
rencana hebat untukku dan aku yakin sepenggal kisahku di pedalaman ini adalah
awal terwujudnya cita-citaku yang sempat tergeser. Berikan pengabdian terbaik
disekitar kita kapanpun itu dan selalu berusaha menjadi manusia yang bermanfaat
bagi orang-orang disekitar kita seperti tertulis dalam sebuah hadist “Orang yang paling beruntung dan bahagia
adalah orang yang bisa bermanfaat bagi sesama”. Aku
yakin garam itu akan menjadi berlian suatu saat nanti. Amin Ya Rabb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar