Rabu, 03 Juni 2015

Keikhlasan dalam Pengabdian

Pengabdian di Aranday-Papua Barat
“ Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah”.      Sebaris lagu yang dipopulerkan oleh Bondan sangat pas dengan apa yang aku rasakan saat ini. Banyak impian-impian yang telah tersusun dalam fikiran, namun tidak semua bisa terwujud atau bahkan belum satupun yang nampak nyata dalam kehidupan kita.
Ketidakterwujudan impian bukanlah hal yang wajib diratapi sekian lama, ya sudahlah seperti itu hasilnya karena manusia hanya bisa merencanakan tapi kuasa Allah yang berhak  menentukan bagaimana dan seperti apa akhir perjalanan hidup hamba-Nya. Bukan patah semangat tapi Allah telah melihat sampai mana ketabahan ikhtiar kita sampai kita bisa tersenyum untuk mewujudkan impian tersebut. Keberhasilan datang berdasarkan usaha yang telah dilakukan, yakin selalu bahwa setelah kesulitan pasti akan datang kemudahan.
Roda kehidupan selalu berputar dalam sirkulasi bumi ini yang pasti dialami oleh setiap makhluk bernyawa. Hidup akan terasa flat tanpa ujian dan hambatan,  tidak variatif, bahkan tidak membekas dalam hati. Roda kesuksesan dan kegagalan saling beriringan memberikan warna pelangi masa depan kita, tak terkecuali aku.
Impianku lima tahun lalu yang hampir semua tercapai saat kuliah, kesuksesan yang mengiringi, kemudahan mengikuti. Cita-citaku sampai saat ini yang belum tercapai adalah melanjutkan pendidikan selanjutnya di Negeri orang dan mengajar di sekolah yang high class dan elit, keliling dunia, dan memuliakan orangtuaku di masa tuanya. Sebaliknya saat ini Allah mempercayakan aku untuk  mengabdikan ilmu di kawasan pedalaman yang jauh dan tidak pernah tersentuh media sekalipun, mungkin roda hidupku saat ini sedang berada di bawah.
Sebelumnya aku menjadi pendidik di sekolah swasta elit yang terletak di    tengah-tengah Kota, fasilitas lengkap, gaji lumayan, murid yang rapi-rapi dengan mengendarai mobil, transportasi dan komunikasi lancar, listrik 24 jam, air bersih sampai terbuang-buang, aneka makanan minuman tercecer, bahkan tempat-tempat hang out tidak terkira, tempat wisata mempesona, begitu sempurna rasanya tanpa ada celah. Namun dimanapun kita bekerja selalu ada tantangan untuk memberikan warna warni semangat dalam bekerja.
Tantangan mengajar di Kota lebih kepada para siswa yang justru mayoritas pintar-pintar sehingga sedikit menyepelehkan ilmu yang disampaikan guru, selain itu teknologi canggih sangat mempengaruhi interinsik dan eksterinsik karekter siswa zaman sekarang,  sehingga guru juga dituntut untuk mengikuti selera murid agar tidak dijuluki guru “GAPTEK” (Gagap Teknologi). Ghazwul Fikri semakin jelas harus dilakukan karena pengaruh fun, food, fashion terlalu mudah diakses tanpa bisa dihhindari. Perlu benteng Agama dan pengawasan intensif dari lingkungan terutama keluarga.
“Kemanapun suami bertugas, istri selalu mendampingi”. Kalimat tersebut mengingatkanku pada film “Habibie Ainun” yang begitu sempurna dalam berumahtangga, istri siap meninggalkan negerinya, mengorbankan gelar dokternya untuk melayani suami dan anak-anaknya, cinta mereka begitu besar hingga kedua hati mereka telah melebur jadi satu. Kita semua pasti juga seperti itu dan memang wajib tak terkecuali aku, akhirnya mengikuti suamiku yang bertugas di pulau paling Timur Indonesia yaitu Papua Barat.
Inilah saatnya aku mengemban tugas pengabdian yang sebenarnya, semua telah terfikirkan dengan matang walau masih ada setitik keraguan untuk merantau ke Papua. Aku dan suamiku terpilih menjadi guru kontrak di salah satu Sekolah Dasar Inpres Pedalaman Aranday-Papua Barat.
Segala keraguan akhirnya kikis oleh ucapan seorang sahabat yang sekaligus alumni Psikologi: “hidup ini adalah pilihan “ dan setiap pilihan mempunyai resiko masing-masing, jika kamu siap dengan segala resikonya maka hilangkan keraguan. Bukankah Rosulullah pernah bersabda “Ketika kamu dalam keragu-raguan, maka tinggalkanlah”.
Menjadi guru di daerah pedalaman sangatlah bertolak 180 derajat dari sebelumnya. Sekolah disini berdiri diatas air alias rumah panggung yang terkadang banjir akibat terkena air pasang, listrik hanya enam jam, buku paket minim, lingkungan yang tidak higienis, murid-murid ada yang harus menggunakan perahu untuk bersekolah atau melewati hutan, fasilitas kurang, transportasi ke Kota harus menyebrangi lautan hampir tujuh jam menggunakan longboat atau jolor.
Ada kekurangan pasti ada kelebihan, kelebihannya adalah seluruh pendidikan disini gratis alias bebas tanpa membayar sepeserpun. Murid-murid disini juga bervariasi, ada yang berasal dari pendatang Jawa, Makassar, Toraja, Medan hingga penduduk asli beragama Islam.
Tantangan paling berat adalah bagaimana mengajarkan “Calistung” kepada murid yang memang membutuhkan, sulitnya memprediksi apakah siswa tergolang Berkebutuhan Khusus atau tidak. Kurangnya media dan fasilitas yang bisa mendongkrak semangat belajar mereka. Mereka lebih suka bekerja fisik daripada harus berfikir mencari ilmu, yang penting “sa pu perut kenyang ee”. Perlu waktu untuk merubah mindset mereka menjadi motivasi demi masa depan.
Awalnya terasa berat, namun seperti kata pepatah “witing tresno jalaran soko kulino” dan “Tak kenal maka tak sayang” ternyata benar- benar terjadi. Kulupakan segala keluh kesahku berganti semangat untuk melakukan perubahan karena Mengasah besi menjadi pedang lebih membanggakan daripada Mengasah pedang yang sudah mengkilat. Ternyata dalam lautan garam yang asin tersimpan berlian-berlian yang mempesona. Banyak juga murid asli Papua yang memiliki potensi di bidang seni, olah raga, maupun Ilmu Pengetahuan.
Siswaku yang menderita penyakit kekurangan pigmen (Albino), meskipun kesulitan menerima materi karena matanya silau ketika siang hari, dia bisa menunjukkan bakat melukisnya yang memukau. Ada lagi siswaku yang menderita kusta kering, dia berhasil menunjukkan bakat dalam cerdas cermat tingkat Kabupaten. Kekurangan bukanlah penghambat kretifitas, namun kreatifitas itu sering muncul dalam keterbatasan seseorang.
Akhirnya aku menyadari dan mulai beradaptasi dengan hidupku saat ini. Allah pasti memiliki rencana hebat untukku dan aku yakin sepenggal kisahku di pedalaman ini adalah awal terwujudnya cita-citaku yang sempat tergeser. Berikan pengabdian terbaik disekitar kita kapanpun itu dan selalu berusaha menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang-orang disekitar kita seperti tertulis dalam sebuah hadist “Orang yang paling beruntung dan bahagia adalah orang yang bisa bermanfaat bagi sesama”. Aku yakin garam itu akan menjadi berlian suatu saat nanti.  Amin Ya Rabb




Tidak ada komentar: