Sabtu, 30 Mei 2009
SINERGITAS PARLEMEN DAN ORMAS, MENGAPA TIDAK?
(Ikhtiar Revitalisasi Peran Parlemen Untuk Mewujudkan Good Governance)
Oleh : Zaqia Nur Fajarini (UMM)
Prolog
Parlemen
adalah lembaga legislatif maupun eksekutif yang ada di dalam
Pemerintahan Indonesia dan memiliki fungsi Legislasi , pembuatan
undang-undang , Pembuat anggaran, Mengontrol pelaksanaan pembangunan.
Akan tetapi di era globalisasi ini telah nampak pergeseran bahkan
“degradasi fungsi” parlemen berkedok mencari nafkah, ironisnya yang
muncul bahkan kasus korupsi dan suap di parlemen sejak munculnya orde
baru (Simamora, 2009). Sungguh ironis negeri ini, di tengah
keterpurukan, keterbelakangan, dan kebodohan yang melanda negeri ini,
elite kita disibukkan pengurasan kekayaan dan harta rakyat untuk
kepentingan pribadi. Di manakah moralitas dan sensibilitas kekuasaan
akan realitas politik yang kian terpuruk?
Kasus korupsi dan suap
merupakan masalah yang “urgen” yang telah ada sejak masa orde baru dan
telah mendarah daging sampai saat ini, mulai kasus dari bapak Soeharto
senilai 1,4 triliun senilai US dolar 24,8 juta, korupsi di bidang
pertamina, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 80,4 triliun, kasus
Abdullah Puteh senilai 30 miliar, kasus Bapindo senilai 1,3 triliun, dan
lain-lain. Berdasar pada data yang tercatat di Transparansi
Internasional (TI), parlemen memang salah satu lembaga yang paling subur
dengan tindakan korupsi. Sangat logis kiranya, parlemen sebagai sebuah
lembaga memiliki kekuasaan dalam melakukan fungsi legislasi dan kontrol
atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan lembaga eksekutif. Dalam era
keterbukaan sejak reformasi bergulir, sudah senyatanya bahwa tidak ada
lembaga yang sakral dan kebal hukum, termasuk lembaga setingkat
parlemen. Sebuah keharusan digeledah guna mewujudkan sebuah sistem
negara yang bebas dari tindak penyelewengan berupa korupsi, kolusi, dan
transaksi kekuasaan.
Kondisi perkembangan sosial politik yang
terjadi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran Organisasi
Kemasyarakat (ormas). Menjamurnya jumlah Ormas menjadi salah satu faktor
dalam memperkuat basis masyarakat untuk mengawal dan mengawasi segala
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perubahan signifikan yang
mendasari hal ini adalah agenda reformasi yang terjadi pada 1998.
Sebagai perbandingan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebelum
reformasi (1996) jumlah Ormas hanya sekitar 10.000 tetapi pasca
bergulirnya reformasi (2000) jumlahnya melonjak sampai sekitar 70.000.
Tulisan
ini akan mencoba memaparkan tentang sinergitas antara ormas dengan
parlemen bukan hanya ”mimpi dan harapan”, namun menjadi suatu
keniscayaan yang harus diarusutamakan sebagai upaya revitalisasi peran
parlemen dalam mewujudkan Good Governance di Indonesia. Dengan demikian
tulisan ini akan menggambarkan bahwa antara parlemen dan ormas adalah
”dua roda” penggerak demokrasi bangsa.
Sinergitas ”Dua Roda” dalam Mewujudkan Good Governance
Sebagai
sebuah konsep baru yang semula diperkenalkan oleh lembaga-lembaga donor
internasional, tata-pemerintahan yang baik (good governance) kini
menjadi salah satu kata kunci dalam wacana untuk membenahi sistem
administrasi publik dan pemerintahan di Indonesia. Upaya untuk
menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik
barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara
konsep good-governance (tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep
public service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya.
Laporan yang ditulis oleh Daniel Kaufman (2002) dari hasil survai di
ratusan negara menunjukkan bahwa unsur-unsur tata-pemerintahan yang baik
antara lain mencakup pemenuhan hak-hak politik warganegara, kemampuan
negara untuk mengendalikan korupsi birokratis, membuat peraturan yang
kondusif, dan yang tidak kalah pentingnya ialah kemampuan untuk
menyelenggarakan pelayanan publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi
lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah
keterkaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyat.
Parlemen sebagai
salah satu aspek Pemerintahan yang bertgas untuk melayani aspirasi
rakyat Indonesia. Pasca jatuhnya rezim Orba, suara demokratisasi menjadi
tuntutan yang tak tertawarkan sebagai antitesa sistem otoriter. Jika
pada masa Orba yang terjadi adalah monovocal, artinya kesatuan sumber
kuasa di tangan eksekutif. Parlemen hanya menjadi lembaga dalam kebisuan
dan cengkeraman eksekutif belaka.Sebaliknya Orde reformasi,
kekuasaan menjadi polyvocal, yaitu kekuasaan menjadi hak milik semua.
Semua pihak berhak menyuarakan kepentingannya di mata publik.
Optimalisasi
peran trio kuasa adalah tuntutan dari demokrasi sebagai pilar
terwujudnya demokrasi yang sehat. Yang menyuguhkan check and balance
dalam setiap kebijakan publik. Tetapi, sewindu lebih orde reformasi yang
terjadi adalah pembusukan trio kekuasaan lewat perilaku korupsi dan
suap dalam rahim ketiga lembaga kekuasaan. Akhirnya, yang terjadi
bukanlah mekanisme check and balance, tapi sharing dan pembagian komisi
atau uang transaksi dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik.
Itulah yang dilakukan Al Amin Nasution. Singkatnya, tak ada legislasi di
tingkat parlemen, tiadanya yudikasi di tingkat lembaga hukum, serta
absennya eksekusi di tingkat eksekutif untuk kepentingan rakyat.
Sebaliknya, yang tampak nyata hanyalah transaksi dan eksekusi untuk
kepentingan komunal dan elite. Memang, terjadi komunikasi politik di
antara ketiganya, tapi sebatas untuk mengabadikan kepentingan
masing-masing. Untuk mengakhiri episode keterpurukan yang diakibatkan
hilangnya kredibilitas dan akuntabilitas trio kekuasaan (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif), hendaknya bangsa ini menyadari akan
kekeliruan laku dan perannya yang didasarkan pada keserakahan dan
ketamakan sesaat atas nama diri.
Optimalisasi dan revitalisasi
peran kelembagaan adalah sebuah keharusan bagi terbentuknya tatanan
kenegaraan yang berkeadilan sosial. Jika tidak, apatisme publik akan
menyelimuti hari-hari bangsa ini. Kerjasama antara ormas dan parlemen
atau yang lebih dikenal dengan “dua roda” pemerintah sangat diperlukan
untuk mewujudkan negara Indonesia yang demokratis dan Good Governance.
Dalam
bukunya yang berjudul Soft Power: The Means to Success in World
Politics (2004), Joseph SN Guru Besar Universitas Harvard berpendapat
bahwa peran Ormas mempunyai kekuatan yang tidak boleh dianggap sebelah
mata. Dia mencontohkan Greenpeace (lingkungan), Amnesty International
(pelanggaran HAM), dan Transparency International (korupsi) sebagai
lembaga yang bisa mempengaruhi politik kebijakan secara signifikan.
Perkembangan
Ormas pasca 1990-an menurut Meuthia Ganie-Rochman dalam bukunya yang
berjudul “An Uphill Struggle: Advocacy NGOs under Soeharto’s New Order
(2002) secara terang-terangan telah mengubah dunia politik tradisional
dari sekadar lembaga-lembaga politik formal dan tradisional menjadi
berorientasi pada kekuatan masyarakat. Dalam kesimpulannya, Dia
berpendapat bahwa strategi advokasi di Indonesia umumnya berkisar pada
tiga hal, yaitu : (1) memilih pengadilan sebagai arena politik, (2)
menargetkan pada perubahan peraturan/UU, (3) menggali dukungan advokasi
internasional.
Sebagai bagian dari sektor ketiga, Ormas termasuk
salah satu pilar menuju terciptanya Masyarakat Madani. Tujuan Ormas
sebagai bagian dari pilar tersebut adalah : (1)Menjaga agar hak-hak
masyarakat terlindungi, (2) Mempengaruhi kebijakan public, (3) Sebagai
sarana cheks and balances pemerintah, (4) Mengawasi penyalahgunaan
kewenangan sosial pemerintah (5) Mengembangkan SDM (6) Sarana
berkomunikasi antar anggota masyarakat. Sangat nyata sekali bahwa peran
ormas terhadap revitalisasi fungsi parlemen yang semakin mengalami
degradasi di Indonesia ini sangat besar. Ormas dan gerakan pemuda di
Indonesia sebagai Agen Of control dan Agen of change pemerintah yang
senantiasa berani mengkritisi kebijakan Pemerintah. Apabila kedua aspek
ini bersatu maka akan terwujud tatanan negara yang sesuai dengan harapan
masyarakat Indonesia. Selain itu peran serta masyarakat untuk mendukung
kinerja pemerintah melalui parlemen juga diharapkan.
Epilog
Uraian
permasalahan telah kita lakukan. Walaupun masih terlalu singkat atau
sederhana, pembahasan di atas harapannya telah membuka dan mendekatkan
pemahaman kita tentang keniscayaan sinergitas antara parlemen dengan
ormas-ormas di Indonesia bukan suatu hal yang mustahil. Akhirnya
upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila
kedua pihak yang telah disebutkan di atas tidak menyetujuinya atau tidak
memiliki tekad dan itikad yang baik.
Pemerintah baik pusat maupun
daerah dan ormas-ormas sudah saatnya memahami dan mengimplementasikan
wacana tersebut. Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut, sebaiknya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memaksimalkan kinerja mereka untuk
saling bekerjasama dalam mewujudkan Good Governance yang sesuai harapan
masyarakat tanpa ada fihak-fihak tersisihkan. Semua akan berjalan lancar
apabila semua fihak saling memberikan sumbangsih demi bangsa Indonesia.
Nb: Essay ini ditulis dalam rangka lomba essay parlemen, parlemen pemuda se-malang dan mendapatkan juara III se-malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar